SURABAYA – Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Airlangga menggelar kuliah tamu bertajuk Ekonomi Politik: Geliat Tiongkok di Indonesia pada Selasa (27/9/2022). Hadir sebagai pembicara pada kuliah tamu tersebut Muhammad Zulfikar Rakhmat PhD, research professor di Busan University of Foreign Studies.
Dalam kesempatan itu, Zulfikar banyak memaparkan mengenai bagaimana hubungan ekonomi politik antara Tiongkok dan Indonesia. Ternyata, Indonesia memegang peranan sentral bagi proyek-proyek ekonomi yang digagas oleh pemerintah Tiongkok. Salah satunya adalah Belt and Road Initiative yang digagas oleh Presiden Xi Jinping.
Proyek itu bermaksud membangun kembali jalur sutera yang menjadi jalur perdagangan utama pada abad ke 14 hingga 16. Diinisiasi sejak tahun 2012, Belt and Road Initiative dibangun untuk memeratakan kondisi perekonomian negara Tiongkok.
“Belt and Road Initiative di era sekarang ini dibagi menjadi dua, jalur darat dan jalur laut. Jalur darat ini dari Tiongkok sampai Eropa. Jalur laut ini juga dari Tiongkok ke Eropa tapi melewati Indonesia, Sri Lanka, Timur Tengah, dan seterusnya, ” tutur Zulfikar.
Jika kita melihat rencana proyek ini, Indonesia merupakan salah satu poin penting kerja sama untuk jalur laut dalam Belt and Road Initiative. “Makanya, saya selalu berargumen tanpa Indonesia proyek ini nggak jalan, ” tegas Zulfikar.
Oleh sebab itulah, investasi dan perdagangan antara Tiongkok dan Indonesia meningkat sejak tahun 2012. Pada tahun 2021, Indonesia mencatatkan total impor sebesar USD 60, 65 miliar dan total ekspor USD 53, 78 miliar dengan Tiongkok.
Tiongkok sendiri juga merupakan investor utama bagi megaproyek yang digagas oleh pemerintah Indonesia. Sebut saja proyek Jakarta-Bandung Railway, MNC Lido City, Kuala Tanjung Port, Lake Toba Tourism District, dan sebagainya.
Mengingat semakin intensnya hubungan antara Tiongkok dengan Indonesia, tentu muncul berbagai risiko dari adanya hubungan ini mulai dari risiko ekonomi, impor, bahkan dapat berdampak pada hubungan Indonesia dengan negara adidaya lainnya yakni Amerika Serikat. Tidak hanya itu, meningkatnya ketergantungan Tiongkok dengan Indonesia juga dapat berisiko rendahnya daya tawar Indonesia.
Guna menghadapi kemungkinan-kemungkinan tersebut, Zulfikar menekankan beberapa poin penting. “Kita perlu ingat politik luar negeri kita ini adalah bebas-aktif. Jadi, jangan sampai kerja sama kita dengan satu negara memengaruhi kerja sama kita dengan negara-negara lain, ” ujarnya.
Selain itu, diversifikasi partner juga menjadi poin yang perlu menjadi perhatian. “Jangan sampai kita hanya dekat dengan satu negara saja dan melupakan potensi-potensi negara lain, ” tutup Zulfikar. (*)
Penulis: Agnes Ikandani
Editor: Binti Q. Masruroh